Sabtu, 07 Juli 2007

Musim Penyiar Resign

Kenapa ya, akhir-akhir ini saya sering dengar kabar banyak "orang radio" yang pada mau resign atau bahkan sudah beramai-ramai resign dari perusahaan tempat mereka bekerja ?

Ada yang tau jawabannya ?

Frekwensi Milik Siapa ?

Dari informasi beberapa sumber yang bisa dipercaya - wah kayak investigasi wartawan aja - ada yang lagi "sedikit ruwet" di Malang beberapa hari ini berkaitan dengan penataan frekwensi radio di gelombang FM.
Seorang teman dari teman saya, yang radionya berada di frekwensi 97 MHZ mengeluh dengan munculnya radio lain yang tiba-tiba menempati frekwensinya. Radio Senaputra yang sebelumnya berada di gelombang 91,9 Mhz, tiba-tiba memindah frekwensinya ke gelombang 97 Mhz. Padahal frekwensi itu sudah ditempati oleh radio temannya teman saya (Radio Mitra FM Batu) sejak beberapa tahun lalu. Sedangkan radio Senaputra baru berpindah ke gelombang FM beberapa bulan ini. Sebelumnya Radio ini berada di gelombang AM.
Menurut temannya teman saya, kasus ini sudah dilaporkan ke KPI bahkan ke Kepolisian.
Enggak tau tuh gimana hasilnya ?
Saya juga enggak berhak menilai siapa yang salah, siapa yang benar. Tapi yang jelas kejadian ini pasti akan menimbulkan akibat yang kurang baik dan merugikan salah satu pihak, atau bahkan pihak-pihak yang lain. Sebab menurut pantauan saya, akibat kejadian ini ada satu radio lain yang berada di gelombang 97,2 Mhz (Radio Sola Gracia)terkena imbasnya juga. Gimana enggak, namanya juga frekwensinya mepet banget, ya hasilnya salah satu pasti kena "splenteran"nya.
Lantas pertanyaannya, kok bisa ya ada 2 radio dengan ijin di freqwensi yang sama ? Apakah karena satunya berada di Malang sementara satunya lagi di Batu, lantas itu tidak jadi masalah ? Bukankah realitanya Malang dan Batu hanya berbeda 15-20 Km ?
Jadi, sebenarnya frekwensi 97 Mhz itu milik siapa ?
Gimana menurut anda ?

Minggu, 01 Juli 2007

Radio Bernuansa Religi

Ada fenomena menarik yang terjadi belakangan ini di kota Malang.

Beberapa bulan terakhir bermunculan radio bernuansa religi di gelombang FM. Terlepas apakah radio-radio itu sudah berijin atau tidak, kemunculan mereka bagi pendengar nampaknya menjadi solusi atas minimnya program bernuansa religi di radio-radio yang sudah ada.

Seperti kita tau, mayoritas radio di kota Malang menjadi “beragama” hanya di jam-jam, hari-hari dan bulan-bulan tertentu saja. Misalnya pas Ramadhan dan Lebaran. Selebihnya mereka sekedar menyajikan program hiburan yang tidak bisa menjadi solusi bagi kekeringan jiwa dan carut marutnya persoalan moral di bangsa yang katanya ber-keTuhanan Yang Maha Esa ini.

Lihat saja, di kota yang katanya berpenduduk mayoritas beragam Islam ini, acara bernuansa religi Islami di radio hanya diberi jatah 5 menit saja perhari.

Acara apa itu ?

Ya apalagi kalau bukan adzan Maghrib.

Bahkan sebuah radio yang berlokasi di sebuah Masjid besar di tengah kota Malang hanya bersiaran saat Subuh dan Maghrib saja (live kuliah Subuh dan ceramah sehabis Maghrib), serta siaran live adzan shalat Subuh, Dluhur Ashar, Maghrib dan Isya.

Memang ada juga sih radio yang menyajikan lebih dari itu, tapi biasanya cuma seminggu sekali, pas hari Kamis atau Jumat aja. Barangkali hanya ada satu atau dua radio yang menyajikan acara bernuansa Islami berdurasi lebih dari 1 jam perhari. Itupun enggak bakal lebih dari 2 jam perhari.

Bagaimana dengan program religi selain Islam ?

Wah, ini lebih sedikit lagi. Bisa-bisa cuma seminggu sekali alias sebulan 4 kali. Hanya di hari-hari tertentu saja program religi mereka bisa muncul dengan jatah waktu yang sedikit lebih banyak, itupun di hari besar yang benar-benar sudah dikenal. Selebihnya, enggak beda sama yang lain.

Program bernuansa religi benar-benar dianggap tidak punya nilai jual bagi radio sehingga enggak perlu dibuat kecuali di waktu-waktu tertentu. Padahal program ini sebenarnya bisa jadi solusi alternative bagi permasalahan yang dihadapi oleh pendengar di masa sekarang. Tentu saja dengan catatan si awak radio bisa mengemasnya dengan kreatif dan menarik, serta tentu saja peran Marketing.

Nah, barangkali itulah yang menyebabkan akhirnya bermunculan radio-radio yang mengusung nilai religi sebagai menu utamanya. Dan menariknya, justru dimulai oleh radio yang berlatar belakang non-Islam yang notabene pendengarnya relative lebih sedikit dan terbatas.

Radio-radio ini dengan semangat tinggi berani mendobrak paradigma yang menganggap bahwa program religi enggak laku untuk dijual alias enggak bakalan ada pendengarnya. Padahal kita tau jumlah yang sedikit ini masih harus dibagi lagi diantara mereka.

Gimana komentar anda ?