Rabu, 12 Mei 2010

PROSPEK PENYIAR RADIO (Bag.2)


Melanjutkan tulisan yang kemarin, kedua factor eksternal maupun internal tersebut, harus bisa disikapi secara tepat, utamanya ketika timbul suatu masalah yang nantinya akan dikaitkan dengan karir dan peningkatan kesejahteraan hidup seorang penyiar. Kalau salah dalam menyikapi akan timbul lingkaran setan yang pada akhirnya merugikan image dan profesi penyiar.


Ambil contoh, sebuah radio dengan kondisi pemasukan iklan yang bagus, namun pihak manajemen atau owner kurang memberikan penghargaan yang layak bagi penyiarnya. Apa yang bakal terjadi ? Penyiar akan kehilangan semangatnya, kualitas siarannya menjadi menurun dan berdampak pada kualitas program secara keseluruhan, yang menyebabkan pendengar juga menjadi malas untuk mendengarkan radio itu dan pengiklan juga ogah untuk memasang iklan di radio yang pendengarnya sedikit, apalagi dengan kualitas penyiar dan program yang buruk. Ujung-ujungnya, pihak perusahaan semakin tidak mampu membayar penyiarnya dengan layak, bahkan bayangan PHK semakin di depan mata. Atau kalaupun perusahaan masih bisa berjalan, penyiarnya sudah lebih duluan keluar dari radio itu untuk mencari perusahaan atau radio lain yang lebih baik dalam memberikan salary bagi karyawannya.


Begitu pula sebaliknya, ketika seorang penyiar yang bekerja di sebuah radio yang masih baru (atau lama) yang belum sehat dari sisi keuangannya, semestinya ia harus tetap mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kreativitas dan kualitas siarannya. Diharapkan dengan kreativitas dan kualitas yang meningkat, pendengar akan senang mendengarkan program yang dibawakannya, sehingga jumlah mereka semakin meningkat, yang berikutnya akan berdampak pada bertambahnya pemasang iklan di radio tersebut. Ujung-ujungnya, radio itu akan semakin besar dan kesejahteraan karyawannya akan semakin meningkat.


Dari ke dua contoh tadi bisa disimpulkan kualitas penyiar adalah salah satu hal terpenting – di samping juga kualitas marketing, administrasi dan posisi yang lain di radio bersangkutan - yang menentukan bagus tidaknya prospek perusahaan di masa depan, termasuk prospek penyiar itu sendiri


Kembali ke pertanyaan di awal, kalau begitu, sebenarnya masih bagus tidak sih prospek profesi penyiar ? Jawabannya : BAGUS. Tergantung di stasiun radio mana dan radio seperti apa tempat dia bekerja. Kalau stasiun radionya besar, incomenya bagus, tentunya penghargaan terhadap karyawannya harus lebih bagus dibanding yang lain. Apapun itu perusahaannya. Masa’ sih perusahaan radio dengan income ratusan juta bahkan miliaran per bulan tidak mampu mensejahterakan penyiarnya ?


Kemudian, pertanyaan ke dua, apakah masih perlu pendidikan kepenyiaran itu ? Jawabnya tentu saja , masih perlu dan sangat perlu. Bagaimana seorang calon penyiar maupun penyiar bisa bersaing untuk meraih prestasi bahkan meningkatkan jumlah pendengar di radionya, kalau bekal yang dimilikinya hanya rata-rata atau di bawah rata-rata ? Semua stasiun radio pasti menginginkan mempunyai seorang penyiar yang berkualitas, creative dan punya kemampuan lebih dibanding yang lain. Tidak ada radio dengan income besar yang mempekerjakan penyiar yang tidak berkualitas. Nah, supaya penyiarnya yang berkualitas bisa tetap bertahan, tentunya dia harus berani membayar mahal untuk itu. Jadi, dalam hal ini, pendidikan kepenyiaran memang sangat diperlukan sekali bagi mereka yang ingin atau sudah terjun di dunia broadcat.


Berikutnya, timbul pertanyaan ke 3. Apakah ada jaminan setelah mengikuti kursus atau kependidikan kepenyiaraan seseorang lantas bisa otomatis diterima menjadi penyiar atau bisa berprestasi lebih dibanding penyiar yang lain ?


Jawabannya : Tidak ada jaminan. Semuanya kembali ke individu masing-masing.


Seperti juga halnya ribuan mahasiswa yang mengambil kuliah di perguruan tinggi, apakah ada jaminan setelah mereka lulus semuanya akan bisa diterima kerja sesuai jurusannya ? Tentu juga tidak ada. Yang penting adalah mereka telah diberi bekal yang cukup, baik secara teori maupun praktek, sehingga peluang mereka untuk sukses jauh lebih besar dibanding mereka yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai.

Begitu juga di pendidikan kepenyiaran. Peserta akan dibekali pengetahuan mengenai ilmu komunikasi, utamanya di dunia kepenyiaran, baik secara teori maupun praktek, yang akan membuat mereka jauh lebih siap untuk memasuki dunia kerja, tidak hanya di radio tetapi juga di tempat lain.


Kok bisa di tempat lain ? Ya, karena dengan bekal kemampuan mereka di bidang komunikasi tentunya akan sangat menunjang sekali dalam menempuh perjalanan studi maupun karir mereka. Yang pasti keberanian untuk berbicara akan meningkat, begitu pula rasa percaya diri, wawasan, dan lain sebagainya. Bahkan tidak sedikit yang bisa berkarir sebagai presenter di televisi. Hal ini bisa terjadi karena mereka telah memiliki bekal yang cukup di dunia kepenyiaran radio, yang bisa dibilang sebagai basic dari segala ilmu kepenyiaran / broadcasting.


Jadi kesimpulannya, pendidikan kepenyiaran memang perlu dan penting, khususnya bagi mereka yang berminat untuk terjun sebagai penyiar ataupun yang sudah berprofesi sebagai penyiar. Tentunya kita harus jeli dan bijak dalam memilih lembaga pendidikan. Jangan sembarangan dalam memilih. Perlu diperhatikan misalnya dari aspek legalitas lembaga pendidikannya, kemudian kelengkapan fasilitas prakteknya, dan yang terpenting tenaga pengajarnya. Akan lebih baik apabila tenaga pengajarnya adalah praktisi yang sudah berpengalaman, baik secara teori maupun prakatek, bukan mereka yang baru 2-5 tahun menjadi penyiar.


Justru sekarang yang jadi masalah adalah apakah yang mereka yang berada di level atas manajemen sebuah perusahaan jasa penyiaran, entah itu sekedar pengelola atau bahkan owner, mau untuk memahami dan belajar secara mendalam tentang dunia kepenyiaran ? Ataukah mereka menganggap bisnis radio sama halnya seperti menjalankan bisnis yang lain, sehingga tidak perlu lagi untuk belajar dan memahami dunia kepenyiaran ?

Selasa, 11 Mei 2010

PROSPEK PENYIAR RADIO (Bag. 1)


Sampai saat ini, masih saja ada anggapan berkarir di dunia kepenyiaran, khususnya profesi penyiar radio, tidak memiliki prospek yang cerah. Sebagian orang masih menilai dengan paradigma lama bahwa bekerja sebagai penyiar hanyalah untuk hobby atau pengisi waktu saja. Profesi penyiar tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. Gajinya kecil, masa depannya tidak jelas. Beberapa contoh di sekitar kita seolah membenarkan anggapan itu. Mereka yang dulunya bekerja sebagai penyiar, akhirnya harus melepaskan profesi itu untuk berkarir di pekerjaan lain yang lebih “menjanjikan”. Sementara mereka yang masih tetap memegang teguh profesinya sebagai penyiar radio, nampaknya harus hidup begitu-begitu saja.


Namun di sisi lain, tidak sedikit anak-anak muda, khususnya lulusan SMU dan kalangan mahasiswa, yang tetap tertarik dengan profesi ini, walaupun setelah lulus kuliah banyak diantara mereka yang akhirnya memilih untuk mencari pekerjaan yang lain. Profesi penyiar seolah hanya dipakai sebagai batu loncatan saja. Ibaratnya, itung-itung cari pengalaman atau minimal untuk nunut ngetop.


Ini kemudian memunculkan pertanyaan, untuk apa orang harus bayar mahal mengikuti pendidikan / kursus kepenyiaran, kalau profesi penyiar tidak memiliki prospek yang bagus ? Apakah memang masih diperlukan pendidikan kepenyiaran itu ?


Kalau kita mau melihat secara jeli, factor yang membuat profesi penyiar seolah kurang menjanjikan dibandingkan profesi yang lain sebenarnya bukan terletak pada profesinya itu sendiri, tetapi factor lain di luar dan di dalam diri pribadi penyiar itu.


Yang dimaksud factor di luar penyiar adalah kebijakan perusahaan tempat di mana penyiar itu bekerja. Seperti juga mereka yang bekerja di perusahaan lain, semakin besar suatu perusahaan sudah sewajarnya semakin bagus kesejahteraan yang diberikan kepada karyawannya. Normalnya begitu.


Nah, sekarang tinggal dilihat, apakah stasiun radio tempat penyiar itu bekerja termasuk perusahaan yang sudah besar dan sehat secara financial atau perusahaan yang masih baru berdiri (ataupun sudah lama berdiri) tapi masih belum sehat kondisi keuangannya ?


Kalau ternyata stasiun radio tersebut sudah lama berdiri dan sehat secara financial, sudah sewajarnya karyawan yang bekerja di dalamnya, termasuk penyiarnya, mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Apalagi seiring dengan pertumbuhan perusahaan yang makin besar, dengan bertambahnya divisi maupun bidang usaha baru yang masih berkaitan dengan dunia broadcast, semakin besar pula peluang seorang penyiar untuk menaiki jenjang yang lebih tinggi lagi. Misalnya dari penyiar part time menjadi full time, naik lagi penyiar senior, menjadi produser acara, program director ataupun General Manager dan seterusnya.


Sebaliknya, kalau stasiun radio tersebut belum sehat secara financial, wajar saja kalau kesejahteraan yang diberikan kepada penyiarnya masih belum begitu bagus. Darimana perusahaan bisa membayar karyawannya kalau pemasukan iklan tidak meningkat bahkan cenderung turun tiap bulannya ? Seperti kita tahu, sumber pemasukan utama sebuah stasiun radio, dalam hal ini radio swasta, adalah dari iklan. Kalau iklan yang masuk sedikit atau bahkan tidak ada, tentunya stasiun radio itu tak akan mampu memberikan kesejahteraan yang layak bagi para karyawannya, termasuk penyiar yang bekerja di dalamnya.


Sedangkan yang ke dua adalah factor internal dari individu penyiar itu sendiri. Profesi apapun, di perusahaan manapun, dituntut kecakapan dan prestasi yang lebih baik. Semakin baik prestasi seorang karyawan, semakin besar peluangnya untuk naik gaji, naik pangkat atau mendapatkan kompensasi lebih dari perusahaan. Sementara mereka yang biasa-biasa saja, atau tidak berprestasi sama sekali, kecil peluangnya untuk mendapatkan promosi yang lebih baik dari perusahaan. Akibatnya, kesejahteraannya begitu-begitu saja, dan masa depannya menjadi suram.


Begitu pula perusahaan yang bergerak di bidang radio swasta. Apabila penyiarnya tidak mampu meningkatkan ketrampilan, kreativitas dan hal-hal lainnya sebagai seorang penyiar professional, jangan salahkan kalau perusahaan tidak memberikan penghargaan yang layak bagi dirinya.


Bersambung...

Senin, 10 Mei 2010

PENDENGAR BUKAN RAJA, TAPI SAHABATMU


“Dalam dunia bisnis, bagi seorang penjual yang sedang melayani komsumen, pelanggan adalah raja. Dalam dunia radio, bagi seorang penyiar yang sedang bertugas, pendengar adalah sahabat terdekatnya. Seorang sahabat tak akan menyakiti sahabatnya. Seorang sahabat akan melayani dengan sepenuh hati. Maka, jangan sakiti sahabatmu dengan ketidakpedulianmu. Jangan abaikan dia dengan ego pribadimu”.


Beberapa waktu lalu, saya mendapati alamat streaming on-line sebuah stasiun radio di luar kota melalui Facebook. Dengan rasa penasaran saya coba mendengarkan siaran radio tersebut melalui internet.


Kualitas audionya lumayan bagus. Jaringannya juga oke. Siarannya tidak terputus-putus. Saya pun bergabung menjadi fans radio ini di Facebook.


Dari status yang terdapat di Dindingnya, nampaknya setiap pergantian acara para penyiarnya meng-update status acara berikutnya. Status terakhir yang terdapat di dindingnya menginformasikan penyiar akan siaran selama 2 jam sampai tengah malam dengan lagu-lagu yang kebetulan mayoritas kesukaan saya.


Sebagai rasa simpati, saya coba kirimkan comment ke status yang baru saja di update oleh si penyiar. Saya juga request lagu kesukaan, dengan catatan kalau memang aturan main memperbolehkan. Kalau tidak juga gak papa, karena saat itu memang bukan acara request lagu. Yang penting comment saya dibaca.


Menit berganti menit, jam berganti jam. Sampai acara hampir usai ternyata lagu saya tidak nongol sedikitpun. Parahnya lagi, penyiar juga tidak menyapa nama saya sama sekali. Dia malah menyapa nama-nama yang lain. Padahal saya sudah menunggu hampir 2 jam sampai terkantuk-kantuk.


Penasaran, saya buka lagi halaman Facebook radio tersebut. Mengejutkan sekali. Ternyata hanya 2 orang yang memberi comment di dindingnya. Saya dan seorang lain yang sekota dengan radio itu. Komment orang itu sudah dibaca oleh si penyiar, sedangkan punya saya sama sekali tidak terbaca.. Bahkan balasan comment di Facebook pun juga tidak. Padahal waktu pengirimannya lebih duluan saya 1 jam


Entah mengapa, malam itu saya merasa kesal sekali diperlakukan seperti itu. Bagi saya penyiar itu sudah bertindak sangat egois sekali. Memang benar acara yang dia bawakan bukan acara request atau salam-salaman. Tapi apa susahnya sih sekedar “menyapa” nama pendengarnya yang sudah rela malam-malam menghabiskan pulsa speedy selama 2 jam ? Mengapa berat sekali untuk sekedar memberi perhatian kepada pendengar barunya ? Lantas untuk apa fasiltias streaming on-linenya ? Untuk apa menulis status di Facebook kalau malas mengomentari ? Padahal tidak butuh lebih dari 30 detik untuk sekedar “say hello” dan “say thank you” kepada pendengarnya.


Bukankah pendegar adalah sahabatmu, bukan seorang raja yang menyuruh-nyuruhmu ?

Selasa, 04 Mei 2010

MENGAPA (WAKTU ITU) BERGABUNG DI RADIO (LAGI) ? (MEMAJUKAN DIRI 2)



Ada beberapa teman yang menanyakan ke saya beberapa hari lalu, mengapa setelah sempat vakum selama kurang lebih 2,5 tahun dari dunia radio, kok saya akhirnya mau kembali lagi bergabung di radio awal 2007.


Jawabannya : karena saya memang tidak pernah (bisa) meninggalkan dunia radio sama sekali selama 2 tahun itu. Saya tetap aktif mengajar di salah satu kursus kepenyiaran radio di kota Malang. Saya juga tetap aktif menjadi “pendengar” dan “pengamat” radio di manapun saya berada. (Hhmm, bagaimana ya mengamati radio ? Radio kan untuk didengar ? Mungkin lebih tepatnya “penguping”, ya ?)


Jawaban kedua : karena saat itu saya ditawari untuk membantu mengelola sebuah radio baru milik pengusaha yang saat itu sedang melakukan siaran percobaan di kota Malang. Namanya radio Kencana FM.


Jujur saja, pada awalnya, saya tidak terlalu antusias menerima tawaran ini. Pertama, karena di Malang sudah terlalu banyak stasiun radio. Untuk kota sekecil Malang, jumlah 30 radio (termasuk radio komunitas dan radio “gelap”) sudah terlalu banyak. Kedua, format musik yang dipilih radio Kencana adalah lagu popular Indonesia (non dangdut, campursari dan keroncong).Ini bisa dianggap sebagai “kelebihan”, tapi bisa juga sebagai suatu “kelemahan”.


“Kelebihan” karena belum banyak radio di Malang yang berformat total musik pop Indonesia. Hanya ada satu-dua. Salah satunya, waktu itu, adalah radio Andalus FM. Radio yang sudah berusia 30 tahun lebih ini, di saat yang hampir bersamaan baru saja merubah formatnya menjadi radio dengan slogan Barometer Musik Indonesia.


Memang, dengan berformat full musik Indonesia akan relative lebih mudah bagi sebuah radio untuk meraih jumlah pendengar lebih banyak, khususnya di kota Malang. Apalagi lagu-lagu Indonesia sudah semakin variatif dan relative berkualitas. Ada kans cukup besar untuk merebut simpati pecinta musik Indonesia di kota pelajar ini.


Sedangkan “kelemahannya”, dengan cuma mengandalkan lagu-lagu pop Indonesia, berarti “amunisi” radio menjadi terbatas. Untuk meraih pendengar dari segment menengah ke atas, terasa “nanggung”. Pendengar dengan segment ini sudah lebih dahulu dimanjakan oleh radio-radio lain, yang tidak hanya menyajikan musik Indonesia tetapi juga lagu-lagu mancanagera (Barat). Jumlahnya lebih dari 5 radio.


Sebaliknya, untuk meraih pendengar dari segment menengah ke bawah, juga “nanggung”. Tanpa adanya program lagu dangdut dan campursari misalnya, cukup berat untuk bisa bersaing dengan radio-radio yang sudah terlebih dahulu bermain di segment ini.


Alasan kedua mengapa saya tidak terlalu tertarik dengan tawaran itu karena radio Kencana sudah “dikelola” sebuah lembaga yang orang-orangnya adalah “guru-guru” saya di dunia radio. Terus terang, saya merasa “enggak enak”. Apalagi kehadiran saya adalah untuk “menggantikan” mereka. Mereka inilah yang “babat alas” ketika mendirikan radio Kencana. Mereka sudah cukup lama malang melintang di dunia broadcat. Bahkan salah seorang diantaranya adalah mantan penyiar kondang di kota Malang yang saya kagumi sejak puluhan tahun silam. Beliau secara tidak langsung adalah “suhu” saya. Untuk urusan dunia broadcast, saya banyak termotivasi dari dia. Beliaulah yang membuat saya menjadi begitu bangga dan mencintai dunia radio. (Cerita mengenai “guru-guru” saya ini akan saya ceritakan di tulisan yang lain).


Dengan beberapa alasan tadi, ditambah dengan kesibukan saya, baik sebagai pemilik usaha toko cokelat Silvia n’ Joe Chocolate maupun pengajar di kursus penyiar Duta Suara, membuat saya ragu untuk menerima tawaran pemilik radio Kencana.


Namun, akhirnya pihak owner berhasil meyakinkan saya bahwa kerjasama dengan konsultan itu akan berakhir bulan depan. Itulah alasannya, mengapa mereka minta tolong saya untuk membantu “meneruskan” beroperasinya radio Kencana FM.


Yah, mungkin inilah yang disebut sebagai “panggilan jiwa”. Melihat ada peluang untuk membenahi penyiar dan program di radio Kencana dan adanya keinginan untuk memberikan sesuatu yang “benar-benar bermanfaat” bagi pendengar radio, saya pun mulai mempertimbangkan menerima tawaran itu. Sama sekali bukan karena alasan salary ataupun jabatan.


Apalagi ternyata salah satu crew yang menjadi perintis berdirinya radio itu adalah teman saya juga yang pernah bekerja di radio yang sama beberapa tahun sebelumnya. Dia pun pernah bergabung di beberapa radio di kota Malang. Bagi saya, ini tentu akan memudahkan terjadinya kerjasama team untuk melakukan berbagai pembenahan bagi kemajuan radio yang belum resmi mengudara itu.


Mengamati begitu ketatnya persaingan antar radio di kota Malang, saya pun memberi masukan kepada owner untuk membuat program yang berbeda dengan radio lain, dengan content yang “benar-benar dibutuhkan” masyarakat. Intinya, jangan cuma sekedar tampil dengan lagu-lagu Indonesia dan gosip-gosip artis atau sejenisnya, karena sudah banyak radio yang punya program seperti itu.


Lalu, program seperti apakah yang belum digarap khusus oleh radio lain, tetapi selalu dibutuhkan masyarakat tanpa ada habisnya ? Masih adakah peluangnya ?


Ternyata, ada. Saya mengamati kebutuhan orang akan informasi peluang kerja maupun peluang berwirausaha selalu meningkat setiap tahun. Kalau di media cetak, sudah cukup banyak yang menggarap secara khusus pasar ini. Namun di radio, masih belum maksimal tercover, khususnya di kota Malang. Padahal 2 hal inilah yang selalu dicari orang sepanjang hidupnya dan tiada habisnya.


Oleh karena itulah saya mengusulkan agar arah siaran radio Kencana ditujukan kepada mereka para pencari kerja dan pewirausaha. Semua informasi yang tersaji, mulai pagi sampai tengah malam, harus yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan mereka.


Seperti kita ketahui, di kota Malang jumlah pelajar dan mahasiswanya sangat banyak. Mereka adalah para calon dan pencari kerja yang jumlahnya akan terus bertambah setiap tahun. Begitu pula dengan para calon dan wirausahawan. Trend untuk menjadi wirausahawan dari tahun ke tahun juga semakin meningkat disebabkan semakin menyempitnya lowongan kerja bagi para pencari kerja. Tentunya ini potensi pasar yang sangat menjanjikan yang bisa digarap oleh Radio Kencana.


Akhirnya, setelah terjadi beberapa kali pertemuan dan negosiasi dengan pemilik serta GM Radio Kencana, per February 2007 saya tercatat resmi bergabung menjadi Program Director sekaligus penyiar di radio Kencana FM, yang berfrekwensi di 98,6 Mhz.


Dan sampai detik ini, walaupun sudah tidak bekerja di radio Kencana lagi, saya merasa bahagia dan bangga pernah menjadi bagian dari sebuah radio yang secara riil begitu bermanfaat bagi masyarakat Malang dan sekitarnya.


Setahu saya, baru radio Kencana inilah satu-satunya radio di kota Malang, yang di ulang tahun pertamanya berhasil menggelar event dengan pencatatan rekor pengumpulan dana sedekah dari pendengar untuk membantu kaum dhuafa sebesar lebih dari Rp. 600.000.0000 (baca : 600 juta) lebih ! Hanya dalam waktu 5 hari saja ! Dana ini 100 % telah disalurkan ke berbagai lembaga amil zakat, pembangunan sekolah, pesantren dan kaum dhuafa di seputaran Malang Raya dan sekitarnya. Termasuk untuk membantu membayar biaya operasi, pengobatan dan rawat inap para pasien tak mampu di rumah sakit-rumah sakit di Malang.


Ini semua tidak mungkin bisa terwujud kalau bukan karena peran serta dari pendengar, pemasang iklan, termasuk juga seluruh crew dan pihak manajemen Radio Kencana yang begitu luar biasa sekali dalam mewujudkan visi dari radio Kencana, yaitu menjadi radio yang terdepan dalam mensejahterakan masyarakat.


Dan tentu saja, yang terpenting, kebijakan dan peran serta dari pemilik (owner) radio, menjadi factor utama keberhasilan suatu program yang dijalankan dalam bisnis jasa radio siaran. Sebagus apapun suatu program direncanakan, seluar biasa dan sekompak apapun team di sebuah radio, kalau pemilik radio tidak mau memahami karakter bisnis radio apalagi tidak memberi dukungan maksimal, radio itu tidak akan menjadi apa-apa. Radio itu akan tetap begitu-begitu saja.


Dan pemilik Radio Kencana membuktikan, walaupun baru setahun beroperasi, radio ini telah mampu menjadi radio yang dipercaya oleh masyarakat pendengarnya, termasuk para pemasang iklan dan para narasumber yang pernah berpartisipasi di dalamnya.