Selasa, 05 Juli 2011

GAGAL JADI PENYIAR RADIO

Saya pernah ditanya, berapa kali pernah melamar jadi penyiar.  Saya jawab berkali-kali.

Berapa kali gagal ?

Berkali-kali .

Saya lupa tepatnya berapa kali secara keseluruhan.  Seingat saya kurang lebih 4 atau 5 kali, atau bisa jadi malah lebih.

Pengalaman yang pertama kali ketika masih duduk di bangku SMA. Kalau tidak salah sekitar tahun 1987.

Saya sadar, pada masa itu memang sulit untuk bisa diterima  bekerja di stasiun radio, apalagi bagi mereka yang masih duduk di bangku SMA.  Masih belum “umum” anak SMA nyambi  jadi penyiar radio. Biasanya ada persyaratan minimal harus sudah lulus SMA. – maka bersyukurlah mereka yang di hidup di jaman sekarang, di mana stasiun radio malah membikin program special bagi anak-anak SMA untuk menjadi penyiar tamu.

Nah, waktu itu saya mencoba mengirimkan surat lamaran ke salah satu radio anak muda terkemuka di kota Malang. Dengan harap-harap cemas saya dengarkan setiap hari pengumuman yang disiarkan di radio ini. Ternyata sampai berminggu-minggu dipanggil pun tidak.

Setelah lulus SMA saya mencoba kembali melamar posisi penyiar di radio favorit saya. Kebetulan saya banyak kenal dengan personil yang ada di radio tersebut. Mulai dari tukang sapunya, waktu itu belum popular istilah Office Boy, sampai direktur utama bahkan ownernya.

Lumayan. Saya lolos interview. Lha, memang semua penginterviewnya saya kenal. Hehehe…

Pada waktu itu, saya memang termasuk fans berat radio tersebut. Mereka yang di masa SMA pernah menjadi pendengar radio ini pasti sudah tidak asing dengan nama saya. Gak pagi, gak siang dan gak malam, nama saya sering disebut oleh penyiar  dan disapa pendengar lain di program request lagu. Dulu istilah popluer untuk program request lagu adalah “attensi lagu” atau “salam-salaman”. Hehehe….

Tapi ternyata, untuk menjadi penyiar radio, modal kenal saja tidak cukup. Modal suara, termasuk tehnik mengolahnya seperti  penguasaan intonasi dan aksentuasi, menjadi hal yang jauh lebih penting.  Di masa itu saya sempat berpikir, barangkali profesi penyiar inilah satu di antara sedikit profesi di dunia yang relative aman dari KKN. Artinya, kalau memang tidak punya kemampuan, jangan harap bisa lolos menjadi penyiar biarpun punya kenalan orang dalam. Walaupun belakangan, saya dapati ternyata ada juga radio yang mau menerima penyiar baru, dengan kemampuan pas-pasan bahkan jauh dari standard, hanya karena hubungan kedekatan atau kekerabatan.

Nah, setelah mengikuti test vocal, saya dinyatakan tidak lolos. Nama saya tidak pernah disebut di pengumuman yang disiarkan tiap sore di radio bersangkutan. Rasanya kecewa banget. Apalagi radio itu sudah seperti menjadi bagian dari kehidupan saya.  Semenjak  masih duduk di kelas 1 SMA sampai lulus, saya hampir tidak pernah “absen” mendengarkan dan aktif berpartipasi di setiap programnya. Jadi bisa dibayangkan betapa kecewanya saya waktu itu.

Untunglah cita-cita saya menjadi penyiar tidak pernah kandas. Walaupun menemui kegagalan demi kegagalan, saya tidak pernah berhenti untuk belajar  dari radio-radio yang saya dengar, di manapun saya berada. Hari-hari saya tidak pernah lepas dari mendengarkan radio. Beberapa interview untuk jadi penyiar juga tetap saya ikuti.

Akhirnya baru di tahun 1993 saya berhasil diterima menjadi penyiar radio untuk pertama kalinya.

Tau gak di radio apa ?

Ternyata di radio favorit saya dulu semasa SMA, yang saya pernah gagal ketika test tahun 1987.


6 tahun setelah upaya saya yang pertama di radio itu. 

9 tahun setelah saya pernah menjadi fans setia di radio itu.  

5 kali setelah saya gagal test jadi penyiar radio di mana-mana.

1 tahun setelah saya lulus sebagai sarjana bahasa Inggris  di IKIP Malang.

Dan 1 bulan setelah saya lulus kursus penyiar Interstudi di Jakarta.

Nama radionya KDS 8.