Kamis, 06 Agustus 2015

MALU







Beberapa hari lalu, saat ramai-ramainya berita Lady Gaga,  saya mendapat pesan dari seseorang di inbox saya. Ia nampaknya merasa terganggu dengan  status di wall saya yg sudah lebih dari 2 minggu itu berputar-putar masalah muslimah lesbian Irshad Manji dan pendukung homoseksual Lady Gaga.

"Mas, anda ini gak faham dunia entertainment siiih ? Makanya yg gaul. Jangan ngaji tok. Hargai perbedaan dan keragaman.  Jadi org jangan kealiman, mas. Ini dunia hiburan.  Dunia musik.  Tau gak sih anda, Lady Gaga itu penyanyi International. Dengan dia show di sini, nama Indonesia bisa semakin harum dan dikenal dikalangan artis dan musisi dunia. Kan bermanfaat juga untuk dunia seni dan pariwisata kita ? Kalau tidak tahu musik dan dunia hiburan tidak usah banyak bacot ," begitu tulisnya.

Saya lihat profile si penulis pesan ini. Dari status-status yang dia tulis, ia cukup religius.  Beberapa “kesukaan” yang ia ikuti tidak sedikit mengarah ke hal-hal religi. Ketika saya baca latar belakang pendidikannya, ternyata ia pernah cukup lama mondok di pesantren dan sekarang sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi Islam.

Saya jadi malu.

Saya tidak ada apa-apanya dibanding beliau. Dari TK sampai lulus kuliah saya  tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah agama. Semuanya sekolah Negeri.

Pendidikan agama hanya dari sekolah yang cuma 2 jam seminggu.  Untuk mengimbangi kekurangan itu, orang tua saya mendatangkan guru ngaji ke rumah. Guru ngaji saya sangat sabar dan bersahaja. Beliau biasa dipanggil dengan nama Pak Jalil. Dikemudian hari, baru saya tahu ternyata beliau – Drs Abdul Djalil Zuhri, MAg - adalah salah satu tokoh kepramukaan dan sekaligus tokoh pendidikan Islam yang sukses mengembangkan sekolah madrasah menjadi sekolah unggulan di kota Malang. Setiap  minggu, di hari-hari  yang sudah ditentukan, beliau datang ke rumah. Selama lebih dari 7 tahun saya belajar ngaji ke beliau, dari beliau masih menggunakan sepeda angin sampai ia memiliki sepeda motor.


Di samping itu, sejak kelas 2 SD, di kala anak-anak seusia saya tidur siang, setiap 1 minggu sekali saya harus mengikuti les private piano. Ada becak langganan yang selalu mengantar ke tempat les tiap Kamis jam 2 siang.  Lokasinya kurang lebih 5 km dari tempat tingggal saya. Sebuah rumah, yang bagian depannya digunakan sebagai studio radio Nasrani – radio Imannuel namanya -  yang  juga menjual buku-buku agama Kristen. Di situlah guru saya Suz Merry tinggal dan memberikan kursus piano private kepada murid-muridnya, termasuk kepada saya.





Seingat saya, dari sekian puluh siswa beliau, hanya kami, (saya, kakak dan adik) yang  asli pribumi dan beragama Islam. Murid-murid beliau yang lain mayoritas berdarah sama dengan beliau, Tionghoa.  Setiap setaun sekali kami biasanya dipertemukan dalam sebuah konser. Masing-masing siswa tampil memainkan komposisi dari komponis terkenal dunia seperti Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven, Johann Sebastian Bach, Frédéric Chopin dan lain-lain. Kami diwajibkan menghafalkan komposisi yang panjangnya berlembar-lembar itu selama kurang lebih 3 bulan. Jadi saat memainkannya di depan penonton, yang terdiri dari para murid dan orang tuanya, kami tidak diperkenankan membawa “contekan”. Harus benar-benar hafal dan tidak boleh salah.





Itulah mungkin  interaksi pertama dan terlama saya dengan mereka yang berbeda agama dan suku. Kelas 2 SD sampai lulus SMP bukan waktu yang singkat.


Dan yang bikin saya lebih malu lagi dibanding dengan latar belakang penulis di inbox saya, adalah pekerjaan yang pernah saya geluti selama belasan tahun.  Lebih dari 15 tahun saya berkecimpung di dunia hiburan, tepatnya radio siaran. Sudah tak terhitung berapa banyak lagu yang saya “hafal” dan putar. Tak terhitung sudah berapa banyak musisi kenamaan dalam negeri yang pernah saya temui, mulai dari yang masih baru sampai yang sudah “melegenda”. Tak terhitung sudah berapa banyak acara musik yang saya handle, entah sebagai produser acara ataupun sebagai pembawa acara.  Tak terhitung juga berapa banyak tempat hiburan mulai café sampai diskotik pernah saya masuki tiap hari dalam rangka tugas. Termasuk juga beberapa event musik internasional yang melibatkan musisi dunia pernah saya liput.




Kalau ingat beberapa tahun silam, saya benar-benar malu dengan si penulis itu. Saya memang tidak ada apa-apanya dibanding beliau. Di kala dia dan teman-teman seusia saya sudah asyik berdizkir seusai shalat Isya’, saya mungkin waktu itu sedang mempersiapkan event di tempat hiburan malam. Di kala dia dan orang lain sudah akan beristirahat di malam hari, saya mungkin baru saja mulai bekerja diiringi musik yang berdentam-dentum, di sebuah tempat hiburan malam.  Di kala dia bangun untuk melakukan shalat malam, saya mungkin baru saja akan meninggalkan tempat saya bekerja untuk kembali beristirahat di rumah.

Belum lagi interaksi saya dengan teman-teman istri saya sewaktu dulu masih bekerja sebagai kasir di salah satu Salon terkemuka di kota Malang. Sebagian dari mereka adalah kaum pecinta sesama jenis. Kami biasa jalan bareng, makan bareng, nonton bareng , hanya tidur bareng yang tidak pernah….:)

Berbicara masalah istri, keluarga dari ibu istri saya (ibu mertua) mayoritas beragama Nasrani. Beliau lahir di kota Muarateweh (Kalteng), dan berdarah asli suku Dayak Kapuas dan Tionghoa. Beliau menjadi mualaf ketika akan menikah dengan ayah mertua saya. Sampai hari ini, kami masih intensif berkomunikasi dengan family dari ibu mertua saya yg nasrani. Bahkan hampir tiap minggu, tante istri saya (nasrani) yang umurnya kebetulan seusia dengan istri saya, sering keluar bareng bersama kami. Kami juga sering bertukar pikiran masalah agama dengan santai dan enak tanpa menyakiti satu sama lain.

Saya memang pantas malu dengan beliau,  si pengkritik di inbox saya. Saya memang bukan orang alim, apalagi sealim beliau. Pengetahuan agama juga pasti kalah jauh dengan beliau.  Pergaulan dengan orang “ngerti agama” pasti juga lebih banyak di beliau.

Dan saya MESTINYA harus lebih malu lagi, ketika  realita di Indonesia belakangan ini menunjukkan sebagian orang-orang yang membela  Irshad Manji dan Lady Gaga adalah orang-orang yang ngerti agama. Orang-orang yang lebih sering menghabiskan waktunya dengan buku-buku agamanya dibanding saya yang tidak ada apa-apanya.

Tapi untungnya, alhamdulillah sampai detik ini ternyata saya tetap tidak malu dan ragu untuk mengatakan TIDAK untuk Irshad Manji dan Lady Gaga.  Saya juga tidak melihat bakal ada masalah yang serius dengan pembatalan konser Lady Gaga di mata musisi atau artis Internasional.

Justru dengan kejadian ini, para penyelenggara event music di Indonesia bisa lebih selektif dalam memilih artisnya. Sedangkan bagi para musisi atau artis luar yang akan show di Indonesia juga akan lebih memperhatikan dan menghormati  batasan-batasan yang harus dipatuhi saat akan tampil di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.

Itu saja sebenarnya. Tidak perlu sampai berlarut-larut seperti kemarin.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik

Kamis, 29 September 2011

JUDUL LAGU DAN NAMA PENYANYI ADALAH INFORMASI



Beberapa waktu yg lalu, salah seorang kawan mengeluhkan tentang radio (dan penyiarnya) yang “pelit” memberikan informasi judul lagu dan nama penyanyi yang baru saja diputar.

“Apa sih susahnya kasih tahu judul lagu dan nama penyanyinya ? Memangnya kita semua tahu dan  masih ingat judul lagu itu?” begitu ia menulis di status FBnya saat mendengar siaran sebuah radio on line di Indonesia.

Apa yang teman saya rasakan pasti juga pernah anda rasakan, karena saya pun juga sering merasakan hal yang sama.

Bisa dimaklumi kalau saat itu acaranya berupa news.  Tapi yang sedang kawan saya dengar bukan program news. Acaranya hiburan biasa. Putar lagu diseling beberapa infomasi ringan.

Saya menduga-duga, apakah mungkin si penyiar beranggapan menyampaikan judul lagu dan nama penyanyi bukan bagian dari menyampaikan informasi kepada pendengar ?

Atau ia anggap semua pendengarnya seperti dirinya, pasti tahu dan ingat apa lagu yang baru saja ia putar ?

Atau ia menganggap tidak penting informasi itu ? –kalau begitu apa perlunya juga dia putar lagu tidak penting itu ?

Atau, si penyiar beralasan bahwa itu memang kebijakan manajemen radionya ?

Hhhmm... dugaan saya, jangan-jangan ini hanya masalah penyiar yang kurang kreatif dalam menyikapi sebuah kebijakan.

Yang saya tahu, penyiar radio memang tidak boleh monoton saat bersiaran.
 Dia harus pandai-pandai mengolah kata sehingga apa yang disampaikan tidak membosankan. 

Jangan setiap kali “talk”, ia ngomong yang itu-itu saja.

Berarti, apa tidak boleh setiap kali “talk” menyebutkan judul lagu ?

Menurut saya, boleh-boleh saja, asal susunan kalimatnya,termasuk  pilihan kata-katanya, jangan sama terus menerus.

Misalnya setelah memutar lagu pertama ia mengatakan, “Itulah tadi lagu dari Marcel, Tak Terganti..bla la bla.”

Berikutnya, setelah lagu ke 2, ia kembali menyampaikan, “ Itulah tadi lagu dari Kahitna, Tak Sebebas Merpati.”

Nah, yang begini ini jelas terdengar sangat monoton dan membosankan.  Mestinya si penyiar bisa menyiasati dengan sedikit merubah susunan kalimatnya atau menambahi dengan informasi berkatian dengan lagu maupun penyanyinya.

Misalnya, setelah lagu pertama ia bicara begini, “Tak Terganti dari Marcel, saya yakin membuat anda tetap betah untuk meneruskan bergabung di program ini, dan tidakmengganti ke channel radio lain bla.,...bla....”

Setelah lagu ke 2, “Apakah memang setiap orang yang akan menikah merasakan seperti yg dirasakan Kahitna ya, menjadi Tak sebebas merpati ? Atau cuma si Yovie yang merasa Tak Sebebas Merpati ? bla...bla... bla....”

Saya yakin, menyebutkan judul lagu dan nama penyanyi di setiap talk, di program yang bukan News, tidak akan mengganggu kenikmatan pendengar dalam menyimak sebuah acara di radio. Juga tidak ada ruginya bagi stasiun radio bersangkutan.

Justru ini akan memberi nilai plus bagi si penyiar dan stasiun radio karena lambat laun akan tertanam di benak pendengar bahwa setiap mendengar radio tersebut pendengar akan bisa selalu mendapat informasi yang komplit sampai ke urusan lagu, yang nampaknya saat ini mulai diabaikan atau ditinggalkan penyiar dan radio-radio lain.

Bandingkan dengan kebanyakan radio di luar negeri yang sudah memanfaatkan fasilitas streaming untuk menyampaikan informasi lagu yang sedang diputar.

Kita akan dengan mudah mendapatkan informasi judul lagu dan nama penyanyinya terpampang di layar radio player saat lagu itu sedang terputar.

Sedangkan radio streaming di Indonesia ?

Masih bisa dihitung dengan jari yang melakukan hal yang sama. Kebanyakan hanya menampilkan nama radionya saja.

Padahal dengan menyebutkan atau menuliskan judul lagu dan nama penyanyi juga merupakan bagian dari menghargai suatu karya seni yang nyata-nyata setiap hari dimanfaatkan oleh sebuah stasiun radio.

Rabu, 14 September 2011

PENGULANGAN INFO WAKTU TAYANG DI PROMO ACARA

Promo acara bagi sebuah program di radio merupakan hal yang sangat penting.

Ibaratnya, ia sebagai alat pengingat, “woro-woro” atau pengumuman bagi pendengar yang belum tahu atau barangkali lupa dengan keberadaan program tersebut.

Sayangnya, tidak jarang pengelola program kurang maksimal dalam pembuatannya.

Yang seringkali terjadi, promo acara terlalu panjang dan detail sehingga malah membuat pendengar dibebani informasi terlalu panjang.  

Pembuat promo lupa bahwa radio bersifat selintas dan anti detail. Apabila yang disampaikan terlalu panjang dan rinci, justru malah akan menyulitkan pendengar untuk mengingat informasi yang baru saja ia dengar.  

Idealnya promo acara di radio berdurasi maksimal 1 menit saja.

Itupun cukup point terpenting dari program yang dipromokan. Bisa dalam bentuk narasi yang disampaikan oleh penyiar, baik dalam bentuk rekaman atau  live, atau bisa juga cuplikan dari acara tersebut. Biasanya yang terakhir ini (cuplikan / dummy acara) jauh lebih efektif dan mudah diingat oleh pendengar.

Hal kedua, yang kadang terabaikan saat pembuatan promo acara juga masih berkaitan dengan sifat radio yang selintas.

Masalah pengulangan informasi  jadwal waktu tayang acara.

Ya, pengulangan.

Tidak hanya satu-dua kali, kita mungkin pernah mengalami kejadian ketika mendengar sebuah promo program yang sangat menarik, ternyata di akhir promo kita baru tersadar belum mencatat atau mengingat di memori kita kapan waktu penayangan program itu.

Bukannya si pembuat promo tidak menyebutkan waktunya. Ia mungkin sudah menginformasikan itu di awal promo. Tapi ia terlupa untuk mengulang kembali informasi waktu tayangnya di bagian akhir promo.

Jangan lupa,  bisa jadi pendengar saat di awal-awal masih konsentrasi dengan isi atau gambaran dari acara yang sedang dipromosikan atau barangkali ia belum mendengarkan  atau konsentrasi dari awal. Sehingga ketika jadwal waktu penayangan hanya disampaikan di awal, pendengar masih belum 100 persen “ngeh”, bahasa Jawanya.

Oleh karena, tidak ada salahnya, untuk mengulang kembali informasi jadwal waktu penayangan program yang sedang dipromokan di bagian akhir dari promo acara. Sehingga tidak akan terjadi pendengar sampai  “ngedumel” baik di dalam hati mapun terucap, karena belum sempat mencatat atau mengingat kapan waktu penayangan acara yang dia tunggu-tunggu tadi

Bagaimana menurut anda ?

Senin, 12 September 2011

SEKALI MENGUDARA TETAP ONAIR DAN ONLINE

 
Siapa yang tidak mengikuti perkembangan tekhnologi akan habis.

Demikian pendapat beberapa pakar bisnis dan komunikasi mengomentari fenomena makin canggihnya tekhnologi di dunia maya dan maraknya perkembangan jumlah pengguna media jejaring social.

Saya jadi teringat, kemarin tanggal 11 September  diperingati sebagai Hari Radio di Indonesia.

Sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai hari lahir Radio Republik Indonesia.  Namun tidak salah juga kalau ia diperingati juga sebagai hari radio secara nasional, bukankah semua stasiun radio siaran yang ada di Indonesia berawal dari kelahiran RRI ?

 “Sekali di udara tetap di udara” adalah semboyan yang sangat terkenal dan dibanggakan sekali.

Walaupun memang pada kenyataannya ada juga radio, termasuk beberapa RRI di daerah, yang tidak konsisten dengan semboyan itu.  Jam-jam tertentu tetap harus berada di “darat” kembali.

Penghematan, alasannya.

Ya, tidak jadi masalah. Sebuah alasan yang sangat masuk di akal.

Nah, barangkali sekarang yang perlu dipikirkan adalah “penambahan” slogan atau semangat baru.

Tidak hanya “sekali di udara tetap di udara” tapi juga “sekali mengudara tetap on-air dan on-line”.

Mengapa begitu ?

Radio yang tidak memiliki fasilitas streaming online di Internet lambat laun diprediksi akan semakin ditinggalkan pendengarnya.

Dunia yang semakin “menyempit” membuat orang dengan mudahnya mendengarkan siaran radio yang ia suka dari berbagai belahan dunia hanya dengan sekali "klik".

Apalagi saat ini gadget dengan fasilitas yang canggih, termasuk untuk mendengarkan siaran radio online sudah bukan barang yang asing dan malah bagi anak muda di Indonesia.

Ditunjang lagi dengan biaya pemakaian Internet yang semakin hari semakin relative lebih murah.

Kalau sebuah stasiun radio masih merasa “nyaman” dengan tekhnologi dan cara lamanya, lambat laun ia akan semakin “terhapus” dari pilihan pendengarnya.

Dan bisa-bisa ramalan para pakar bisnis dan komunikasi akan kehancuran sebuah bisnis yang gagap tekhnologi benar-benar akan terjadi 5-10 tahun mendatang 

Jadi mari tambahkan slogan dan semangat baru di dunia radio dengan buktikan “sekali mengudara tetap on-air dan on-line”.

Selamat Hari Radio.

Selasa, 05 Juli 2011

GAGAL JADI PENYIAR RADIO

Saya pernah ditanya, berapa kali pernah melamar jadi penyiar.  Saya jawab berkali-kali.

Berapa kali gagal ?

Berkali-kali .

Saya lupa tepatnya berapa kali secara keseluruhan.  Seingat saya kurang lebih 4 atau 5 kali, atau bisa jadi malah lebih.

Pengalaman yang pertama kali ketika masih duduk di bangku SMA. Kalau tidak salah sekitar tahun 1987.

Saya sadar, pada masa itu memang sulit untuk bisa diterima  bekerja di stasiun radio, apalagi bagi mereka yang masih duduk di bangku SMA.  Masih belum “umum” anak SMA nyambi  jadi penyiar radio. Biasanya ada persyaratan minimal harus sudah lulus SMA. – maka bersyukurlah mereka yang di hidup di jaman sekarang, di mana stasiun radio malah membikin program special bagi anak-anak SMA untuk menjadi penyiar tamu.

Nah, waktu itu saya mencoba mengirimkan surat lamaran ke salah satu radio anak muda terkemuka di kota Malang. Dengan harap-harap cemas saya dengarkan setiap hari pengumuman yang disiarkan di radio ini. Ternyata sampai berminggu-minggu dipanggil pun tidak.

Setelah lulus SMA saya mencoba kembali melamar posisi penyiar di radio favorit saya. Kebetulan saya banyak kenal dengan personil yang ada di radio tersebut. Mulai dari tukang sapunya, waktu itu belum popular istilah Office Boy, sampai direktur utama bahkan ownernya.

Lumayan. Saya lolos interview. Lha, memang semua penginterviewnya saya kenal. Hehehe…

Pada waktu itu, saya memang termasuk fans berat radio tersebut. Mereka yang di masa SMA pernah menjadi pendengar radio ini pasti sudah tidak asing dengan nama saya. Gak pagi, gak siang dan gak malam, nama saya sering disebut oleh penyiar  dan disapa pendengar lain di program request lagu. Dulu istilah popluer untuk program request lagu adalah “attensi lagu” atau “salam-salaman”. Hehehe….

Tapi ternyata, untuk menjadi penyiar radio, modal kenal saja tidak cukup. Modal suara, termasuk tehnik mengolahnya seperti  penguasaan intonasi dan aksentuasi, menjadi hal yang jauh lebih penting.  Di masa itu saya sempat berpikir, barangkali profesi penyiar inilah satu di antara sedikit profesi di dunia yang relative aman dari KKN. Artinya, kalau memang tidak punya kemampuan, jangan harap bisa lolos menjadi penyiar biarpun punya kenalan orang dalam. Walaupun belakangan, saya dapati ternyata ada juga radio yang mau menerima penyiar baru, dengan kemampuan pas-pasan bahkan jauh dari standard, hanya karena hubungan kedekatan atau kekerabatan.

Nah, setelah mengikuti test vocal, saya dinyatakan tidak lolos. Nama saya tidak pernah disebut di pengumuman yang disiarkan tiap sore di radio bersangkutan. Rasanya kecewa banget. Apalagi radio itu sudah seperti menjadi bagian dari kehidupan saya.  Semenjak  masih duduk di kelas 1 SMA sampai lulus, saya hampir tidak pernah “absen” mendengarkan dan aktif berpartipasi di setiap programnya. Jadi bisa dibayangkan betapa kecewanya saya waktu itu.

Untunglah cita-cita saya menjadi penyiar tidak pernah kandas. Walaupun menemui kegagalan demi kegagalan, saya tidak pernah berhenti untuk belajar  dari radio-radio yang saya dengar, di manapun saya berada. Hari-hari saya tidak pernah lepas dari mendengarkan radio. Beberapa interview untuk jadi penyiar juga tetap saya ikuti.

Akhirnya baru di tahun 1993 saya berhasil diterima menjadi penyiar radio untuk pertama kalinya.

Tau gak di radio apa ?

Ternyata di radio favorit saya dulu semasa SMA, yang saya pernah gagal ketika test tahun 1987.


6 tahun setelah upaya saya yang pertama di radio itu. 

9 tahun setelah saya pernah menjadi fans setia di radio itu.  

5 kali setelah saya gagal test jadi penyiar radio di mana-mana.

1 tahun setelah saya lulus sebagai sarjana bahasa Inggris  di IKIP Malang.

Dan 1 bulan setelah saya lulus kursus penyiar Interstudi di Jakarta.

Nama radionya KDS 8.

Selasa, 31 Mei 2011

Buat 2 Orang Kawan Saya…- Sebuah Catatan Lama Dari Blog Saya di Friendster (1 Mei 2006)

Ini adalah catatan lama saya di Blog Friendster pada bulan Mei 2006. Waktu itu salah satu radio di kota saya sedang mengalami "gonjang-ganjing". Kondisi ini memaksa manajemen untuk melakukan perampingan pada sejumlah karyawan. Diantaranya menimpa 2 orang kawan seperjuangan saya di dunia radio. Mendengar berita itu saya seakan bisa ikut merasakan kesedihan mereka. Semuanya saya curahkan lewat tulisan berikut ini, yang saya tulis 5 tahun yang lalu.
-----
Buat 2 orang kawan saya, hari ini tidak sama lagi seperti hari-hari kemarin…

Saat ribuan buruh di berbagai tempat di Indonesia memperingati Hari Buruh Internasional, 2 orang kawan saya harus menerima kenyataan pahit, di PHK dari pekerjaannya !

Di saat ribuan buruh menyuarakan harapan demi harapan demi masa depan yang lebih baik, 2 orang kawan saya digelapkan masa depannya !

Mimpi indah yang telah terajut sekian lama bersama orang-orang terkasih dan tersayang seakan hancur terburai tak berbentuk…

Tangisan si kecil yang tiap hari menjadi penghilang rasa letih, hari ini menjadi tangisan yang memerihkan hati….

Kawan, saat kau menjelang tidur tadi malam, tentu kau masih berharap ini semua hanya mimpi, dan besok pagi kau akan terbangun dari mimpimu.

Yah, pagi ini kau memang terbangun seperti biasa. Matahari masih bersinar hangat…Burung masih tetap berkicau… udara masih terasa segar.

Tapi kau … pasti tak bisa merasakan itu semua.

Hari ini begitu mendung, tak ada kicau burung, tak ada udara segar. Yang ada hanya gelap, sepi dan terasa menyesakkan di dada.

Tiada lagi kata : “Papa berangkat kerja dulu ya…” atau “ Papa pulaang…”

Mau berangkat ke mana…mau pulang ke mana ???

Tiada ke mana-mana.

Tiada lagi jalanan aspal yang perlu disusuri ke tempat kerja. Tiada lagi SMS kawan yang titip minta dibelikan makanan kecil untuk dibawa ke kantor. Tiada lagi kesibukan memencet tuts komputer, memilih lagu dan memutar lagu…

Tiada lagi pendengar yang selama ini menjadi spirit di tiap-tiap harinya yang bisa disapa lagi….

Semuanya hilang lenyap…

Hari ini dan esok jadi begitu berbeda dari hari-hari biasanya…

Harapan dan impian seakan musnah…

“Keep on fighting my friend…

Dunia masih terhampar luas buatmu.

Jemput rezeki dari Sang Maha Pemberi Rezeki.

Karena hanya Dialah sebenar-benarnya sang Maha Pemberi Rezeki.

Bukan yang lain….

Keep on praying…

I’ll pray for you…

Penyiar Senior Ga’ Bisa Baca Adlib - Sebuah Catatan Lama dr Blog Saya di Friendster (25 Juni 2006)

Kabar akan "ditamatkannya" Friendster akhir bulan ini membuat saya tiba-tiba tergerak untuk menengok situs jaringan pertemanan yg pernah begitu populer di Indonesia beberapa tahun silam. Sejak terjadi perselingkuhan antara saya dengan Facebook 3 tahun lalu, halaman pribadi saya di Friendster memang tak pernah sekalipun saya nafkahi lahir dan batin.


Nah, di saat asyik bernostalgia dengan foto-foto dan testimoni di FS, saya menemukan beberapa catatan yang pernah saya tulis di blog milik Friendster. Semuanya berkaitan dengan dunia broadcasting. Beberapa catatan lama saya memang terasa agak pedas dan banyak mengkritik kondisi peradioan di masa itu. Gaya bahasanya pun cenderung lebih informal. Tapi mengingat umur Friendster yang tinggal beberapa jam lagi, rasanya sayang kalau saya biarkan tulisan itu ikut musnah. Oleh karenanya, mulai edisi kali ini saya akan coba tampilkan beberapa catatan yang pernah saya tulis di blognya Friendster. Mohon maaf kalau bahasanya barangkali terasa terlalu "kasar". Maklum, itu tulisan 5 tahun yg lalu...hehehe. Selamat menikmati, semoga bermanfaat.
(Foto : http://www.archives.gov.on.ca/english/on-line-exhibits/st-lawrence/pics/4392_30_loyalty1_720.jpg)

Senior ternyata bukan jaminan seorang penyiar bisa lebih baik dari yang junior. Bahkan untuk urusan yang harusnya udah jadi standard, belum tentu yang senior bisa lebih jago.


Baru-baru ini ga’ sengaja saya dengar siaran penyiar senior yang udah lebih dari 30 tahun malang melintang di radio di kota Malang. Acaranya dari dulu ga’ pernah yang lain kecuali dangdut. Pada masa itu namanya ngetop sekali. Tanyain aja orang-orang di pasar atau pelosok-pelosok kampung, 90% pasti mengenalnya.


Suaranya khas banget, powerful, tapi cempreng, apalagi kalo pas ketawa. Saya jadi ga’ bisa lupa suaranya gara-gara kekhasannya itu. Pokoke nyebelin pooouul, ngangenin…sekaligus kudu mbuaanting radioku….he he he…(yang terakhir ‘agak’ becanda kok)….!!???


Format siarannya dari dulu sampe sekarang hampir ga’ berubah : baca request, salam-salam dari pendengarnya pake nama dan alamat samaran yang aneh-aneh, mis. Putri Malu di Pondok Kerinduan(…..iiihh…tidaaaak), ditambah baca pantun buatan mereka. Pokoke dari radionya masih AM sampai FM, dari request masih pake kupon yang harus bayar sampai yang sekarang udah bisa langsung on-air by phone, acara nya yaaa tetep sama…. Baca request, trus putar lagu dangdut… Puluhan tahun kayak begitu.


Nah, kemarin ga’sengaja saya dengar caranya baca adlib …Ooh my God…saya bener-bener ga’nyangka and surprise. Ternyata masih bagusan murid saya di Kursus Penyiar Duta Suara. Swear !! Cara penyiar ini baca iklan persis kayak membaca. Sekali lagi MEMBACA. Bukan gaya siaran KOMUNIKATIF, tapi…belajar membaca. Sampai saya ga’ habis pikir, apa orang ini ga’ pernah ikutan diklat PRSSNI, padahal radionya tercatat sebagai anggota. Atau ni penyiar ga’ sempat belajar gimana cara baca naskah siaran/adlip yang baik dan benar saking sibuknya siaran (???). Atau beliau udah merasa jauh lebih senior (pintar) dari yang junior ? Atau beliau, bahkan si pengelola radio, merasa itu bukanlah hal yang penting ??? Terus gimana si penyiar senior bisa jadi panutan penyiar-penyiar muda lainnya ? Lebih jauh lagi, gimana radionya bisa bersaing sama yang lain ????


Waaahh…ternyata ga’ gampang ya jadi penyiar radio….Yang senior belum tentu bisa lebih baik. Keahlian harus terus diolah dengan belajar, berlatih, belajar berlatih dan begitu seterusnya ….tanpa henti.


Yok opo menurutmu rek ?