Kamis, 06 Agustus 2015

MALU







Beberapa hari lalu, saat ramai-ramainya berita Lady Gaga,  saya mendapat pesan dari seseorang di inbox saya. Ia nampaknya merasa terganggu dengan  status di wall saya yg sudah lebih dari 2 minggu itu berputar-putar masalah muslimah lesbian Irshad Manji dan pendukung homoseksual Lady Gaga.

"Mas, anda ini gak faham dunia entertainment siiih ? Makanya yg gaul. Jangan ngaji tok. Hargai perbedaan dan keragaman.  Jadi org jangan kealiman, mas. Ini dunia hiburan.  Dunia musik.  Tau gak sih anda, Lady Gaga itu penyanyi International. Dengan dia show di sini, nama Indonesia bisa semakin harum dan dikenal dikalangan artis dan musisi dunia. Kan bermanfaat juga untuk dunia seni dan pariwisata kita ? Kalau tidak tahu musik dan dunia hiburan tidak usah banyak bacot ," begitu tulisnya.

Saya lihat profile si penulis pesan ini. Dari status-status yang dia tulis, ia cukup religius.  Beberapa “kesukaan” yang ia ikuti tidak sedikit mengarah ke hal-hal religi. Ketika saya baca latar belakang pendidikannya, ternyata ia pernah cukup lama mondok di pesantren dan sekarang sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi Islam.

Saya jadi malu.

Saya tidak ada apa-apanya dibanding beliau. Dari TK sampai lulus kuliah saya  tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah agama. Semuanya sekolah Negeri.

Pendidikan agama hanya dari sekolah yang cuma 2 jam seminggu.  Untuk mengimbangi kekurangan itu, orang tua saya mendatangkan guru ngaji ke rumah. Guru ngaji saya sangat sabar dan bersahaja. Beliau biasa dipanggil dengan nama Pak Jalil. Dikemudian hari, baru saya tahu ternyata beliau – Drs Abdul Djalil Zuhri, MAg - adalah salah satu tokoh kepramukaan dan sekaligus tokoh pendidikan Islam yang sukses mengembangkan sekolah madrasah menjadi sekolah unggulan di kota Malang. Setiap  minggu, di hari-hari  yang sudah ditentukan, beliau datang ke rumah. Selama lebih dari 7 tahun saya belajar ngaji ke beliau, dari beliau masih menggunakan sepeda angin sampai ia memiliki sepeda motor.


Di samping itu, sejak kelas 2 SD, di kala anak-anak seusia saya tidur siang, setiap 1 minggu sekali saya harus mengikuti les private piano. Ada becak langganan yang selalu mengantar ke tempat les tiap Kamis jam 2 siang.  Lokasinya kurang lebih 5 km dari tempat tingggal saya. Sebuah rumah, yang bagian depannya digunakan sebagai studio radio Nasrani – radio Imannuel namanya -  yang  juga menjual buku-buku agama Kristen. Di situlah guru saya Suz Merry tinggal dan memberikan kursus piano private kepada murid-muridnya, termasuk kepada saya.





Seingat saya, dari sekian puluh siswa beliau, hanya kami, (saya, kakak dan adik) yang  asli pribumi dan beragama Islam. Murid-murid beliau yang lain mayoritas berdarah sama dengan beliau, Tionghoa.  Setiap setaun sekali kami biasanya dipertemukan dalam sebuah konser. Masing-masing siswa tampil memainkan komposisi dari komponis terkenal dunia seperti Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven, Johann Sebastian Bach, Frédéric Chopin dan lain-lain. Kami diwajibkan menghafalkan komposisi yang panjangnya berlembar-lembar itu selama kurang lebih 3 bulan. Jadi saat memainkannya di depan penonton, yang terdiri dari para murid dan orang tuanya, kami tidak diperkenankan membawa “contekan”. Harus benar-benar hafal dan tidak boleh salah.





Itulah mungkin  interaksi pertama dan terlama saya dengan mereka yang berbeda agama dan suku. Kelas 2 SD sampai lulus SMP bukan waktu yang singkat.


Dan yang bikin saya lebih malu lagi dibanding dengan latar belakang penulis di inbox saya, adalah pekerjaan yang pernah saya geluti selama belasan tahun.  Lebih dari 15 tahun saya berkecimpung di dunia hiburan, tepatnya radio siaran. Sudah tak terhitung berapa banyak lagu yang saya “hafal” dan putar. Tak terhitung sudah berapa banyak musisi kenamaan dalam negeri yang pernah saya temui, mulai dari yang masih baru sampai yang sudah “melegenda”. Tak terhitung sudah berapa banyak acara musik yang saya handle, entah sebagai produser acara ataupun sebagai pembawa acara.  Tak terhitung juga berapa banyak tempat hiburan mulai café sampai diskotik pernah saya masuki tiap hari dalam rangka tugas. Termasuk juga beberapa event musik internasional yang melibatkan musisi dunia pernah saya liput.




Kalau ingat beberapa tahun silam, saya benar-benar malu dengan si penulis itu. Saya memang tidak ada apa-apanya dibanding beliau. Di kala dia dan teman-teman seusia saya sudah asyik berdizkir seusai shalat Isya’, saya mungkin waktu itu sedang mempersiapkan event di tempat hiburan malam. Di kala dia dan orang lain sudah akan beristirahat di malam hari, saya mungkin baru saja mulai bekerja diiringi musik yang berdentam-dentum, di sebuah tempat hiburan malam.  Di kala dia bangun untuk melakukan shalat malam, saya mungkin baru saja akan meninggalkan tempat saya bekerja untuk kembali beristirahat di rumah.

Belum lagi interaksi saya dengan teman-teman istri saya sewaktu dulu masih bekerja sebagai kasir di salah satu Salon terkemuka di kota Malang. Sebagian dari mereka adalah kaum pecinta sesama jenis. Kami biasa jalan bareng, makan bareng, nonton bareng , hanya tidur bareng yang tidak pernah….:)

Berbicara masalah istri, keluarga dari ibu istri saya (ibu mertua) mayoritas beragama Nasrani. Beliau lahir di kota Muarateweh (Kalteng), dan berdarah asli suku Dayak Kapuas dan Tionghoa. Beliau menjadi mualaf ketika akan menikah dengan ayah mertua saya. Sampai hari ini, kami masih intensif berkomunikasi dengan family dari ibu mertua saya yg nasrani. Bahkan hampir tiap minggu, tante istri saya (nasrani) yang umurnya kebetulan seusia dengan istri saya, sering keluar bareng bersama kami. Kami juga sering bertukar pikiran masalah agama dengan santai dan enak tanpa menyakiti satu sama lain.

Saya memang pantas malu dengan beliau,  si pengkritik di inbox saya. Saya memang bukan orang alim, apalagi sealim beliau. Pengetahuan agama juga pasti kalah jauh dengan beliau.  Pergaulan dengan orang “ngerti agama” pasti juga lebih banyak di beliau.

Dan saya MESTINYA harus lebih malu lagi, ketika  realita di Indonesia belakangan ini menunjukkan sebagian orang-orang yang membela  Irshad Manji dan Lady Gaga adalah orang-orang yang ngerti agama. Orang-orang yang lebih sering menghabiskan waktunya dengan buku-buku agamanya dibanding saya yang tidak ada apa-apanya.

Tapi untungnya, alhamdulillah sampai detik ini ternyata saya tetap tidak malu dan ragu untuk mengatakan TIDAK untuk Irshad Manji dan Lady Gaga.  Saya juga tidak melihat bakal ada masalah yang serius dengan pembatalan konser Lady Gaga di mata musisi atau artis Internasional.

Justru dengan kejadian ini, para penyelenggara event music di Indonesia bisa lebih selektif dalam memilih artisnya. Sedangkan bagi para musisi atau artis luar yang akan show di Indonesia juga akan lebih memperhatikan dan menghormati  batasan-batasan yang harus dipatuhi saat akan tampil di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.

Itu saja sebenarnya. Tidak perlu sampai berlarut-larut seperti kemarin.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik