Dalam kurun waktu 17 tahun di dunia broadcast, saya sempat mengalami “kevacuuman” dari dunia radio selama 2,5 tahun, sebelum akhirnya bergabung di radio yang sekarang , radio Kencana FM.
Sebetulnya tidak tepat kalau dikatakan benar-benar vacuum. Karena toh hampir tiap hari, sejak saya resign dari Radio Makobu FM bulan Juni 2004 sampai awal tahun 2007, saya tetap disibukkan dengan aktivitas mengajar di salah satu lembaga kursus penyiar radio di kota Malang. Disamping itu, keberminatan (kepedulian) terhadap dunia radio membuat saya tak pernah bisa lepas dari kegiatan mendengar berbagai radio yang ada di kota Malang maupun di kota-kota yang kebetulan saya singgahi saat bepergian. Aktivitas ini sudah yang saya lakukan sejak masih duduk di bangku SD !
Tapi, mengapa tiba-tiba waktu itu saya berani memutuskan untuk meninggalkan dunia radio yang sudah mendarah daging sejak usia belasan tahun ini ?
Banyak sekali factor yang melatar belakangi keputusan itu. Salah satu diantaranya adalah munculnya perbedaan prinsip yang tidak memungkinkan bagi saya untuk meneruskan kerjasama dengan radio bersangkutan. Saya tidak perlu menyebutkan perbedaan prinsip macam apa itu, tetapi itu menyangkut berbagai hal.
Memang, perbedaan itu wajar dan sah-sah saja. Tapi, kalau perbedaan itu membuat kita merasa tidak nyaman, sementara berbagai cara yang ditempuh untuk menyatukan perbedaan itu tak berhasil dilakukan, tentu harus ada sikap yang dipilih.
Saat itu saya memilih sikap untuk resign dari radio yang sudah 7 tahun menjadi bagian dari mimpi dan hidup saya.
Menyesal ?
Tidak.
Karena ada satu lagi alasan yang membuat saya berbahagia dengan keputusan itu.
Apakah itu ?
Mimpi saya untuk menjadi seorang entrepreneur bakal menjadi kenyataan.
Barangkali inilah mimpi ke dua saya setelah mimpi pertama menjadi kenyataan.
Mimpi atau cita-cita pertama saya sejak SMU adalah menjadi penyiar radio. Mimpi itu tak pernah lepas dari kehidupan saya. Dari hari ke hari, tahun ke tahun mimpi itu semakin menguat. Tak sedikitpun mimpi itu bergeser dari pikiran saya. Saya begitu merindukan sekali saat-saat mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Dan semuanya akhirnya mulai terwujud justru setelah saya lulus kuliah di tahun 1992.
Seiring dengan perjalanan waktu, 5 tahun setelah mimpi pertama saya terwujud, tiba-tiba “virus” entrepreneurship menyerang otak dan seluruh aliran darah saya. Keinginan untuk menjadi “orang bebas” kian lama kian menguat. Berbagai buku dan seminar tentang wirausaha menjadi makanan wajib bagi saya. Namun itu tak cukup kuat untuk membuat saya mengambil keputusan untuk banting setir menjadi wirausahawan. Saya masih tetap menikmati posisi sebagai penyiar di radio.
Baru setelah memasuki tahun ke 12, keinginan untuk menjadi wirausahawan kembali menyeruak. Perbedaan prinsip dan situasi kerja yang tidak mendukung untuk tetap bertahan, membuat keputusan harus diambil.
Tanggal 1 Juni 2004 saya resmi sudah tidak tercatat sebagai Program Director dan penyiar di radio Makobu FM, meninggalkan semua kenangan dan mimpi indah yang sudah terajut selama 7 tahun.
Seperti kata Mario Teguh : saya sudah resmi “memajukan diri” - bukan mengundurkan diri-, untuk mengejar mimpi yang baru, tentunya.
Sabtu, 23 Mei 2009
Senin, 26 Januari 2009
PENYIAR RADIO, HOBBY ATAU PROFESI ?
Tulisan ini sebenarnya adalah pendapat yang pernah saya tulis di Facebook, di Grup Forum Diskusi Radio (FDR) Indonesia, yang berangkat dari tulisan mas Harley Prayudha pertengahan November tahun lalu. Topik yang diangkat : Kerja di Radio Masih Dianggap Hobby ? Mengapa ini perlu saya tuliskan kembali di sini ? Karena ternyata tidak sedikit diantara para praktisi atau pelaku di dunia radio siaran yang masih punya anggapan berbau pesimistis mengenai pekerjaan mulia ini. Berikut ini tulisan saya :
Sebuah profesi yang dilakukan karena hobby seharusnya akan menghasilkan output yang berbeda dibandingkan dengan profesi yang dilakukan karena terpaksa atau kepepet. Suatu pekerjaan yang dilakukan dengan kecintaan penuh, totalitas dan tanpa pamrih akan memberikan sebuah kualitas yang jauh berbeda dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan karena mengejar kebutuhan hidup alias sekedar "mencari uang".
Masalah sebenarnya bukanlah pada pernyataan apakah ini hobby atau bukan hobby.
Masalahnya adalah : apakah si penyiar, pengelola radio, termasuk si pemilik radio, dan pemasang iklan menyadari atau mau menyadari bahwa RADIO ADALAH SEBUAH INDUSTRI ?
Kalau hal ini tidak dipahami oleh masing-masing pihak, sampai kapanpun gaji penyiar akan dihargai rendah oleh pengelola atau pemilik radio. Mengapa bisa begitu ? Ya, karena selama menjalankan pekerjaannya si penyiar tidak menunjukkan kualitasnya sebagai seorang penyiar yang layak dibayar tinggi. Buat apa dibayar tinggi, siarannya begitu-begitu saja. Cuma sekedar suka-suka si penyiar. Toh cuma hobby, begitu pendapat si penyiar. Nanti kalau sudah lulus atau ada tawaran pekerjaan di perusahaan lain, yang bukan radio tentunya, ya ucapkan selamat tinggal radio. Ngapain dibela-belain. Penyiar kan hanya batu loncatan.
Yang kedua, kalau pengelola atau pemilik radio tidak menganggap radio sebagai sebuah INDUSTRI yang "BISA MENJADI BESAR' dan "HARUS MENJADI BESAR" tentunya pemasang iklan juga akan bisa merasakan hal yang sama. Ahh, radio itu enggak niat, enggak bonafide. Buktinya, kantornya aja kayak begitu, studionya kecil, dan lain-lain. Sehingga salah satu dampaknya adalah harga iklan sulit untuk menjadi tinggi.Mana mau klient membayar mahal untuk perusahaan yang dianggap enggak bonafide.
Yang ketiga, pemasang iklan yang tidak mau menyadari bahwa radio adalah sebuah industri , tentunya dengan seenaknya sendiri akan menawar harga iklan serendah-rendahnya. Yang penting radio mau kasih harga murah, dia pasti pasang.
Ibaratnya lingkaran setan. Salah satu tidak menyadari fungsinya sebagai sebuah industri, akan berpengaruh pada yang lainnya.
Sebagai layaknya sebuah industri, tidak peduli di kota besar ataupun kecil, berprofesi di radio bisa menjadi sangat menjanjikan dan bisa tidak menjanjikan. Seperti juga bekerja di bank, bisa menjanjikan bisa juga tidak menjanjikan. Tinggal tergantung di Bank mana, Bank yang sehat atau bank yang tidak sehat ?
Jadi, bersyukurlah anda yang berprofesi sebagai penyiar karena "benar-benar hobby" bukan "sok hobby". Maksimalkan kemampuan anda dan kualitas anda akan terbaca oleh atasan anda atau atasan orang lain.
Dan bersyukurlah para pengelola atau pemilik radio yang punya penyiar yang bekerja karena hobby dan kecintaan penuh, karena itulah aset anda yang termahal.
Sebuah profesi yang dilakukan karena hobby seharusnya akan menghasilkan output yang berbeda dibandingkan dengan profesi yang dilakukan karena terpaksa atau kepepet. Suatu pekerjaan yang dilakukan dengan kecintaan penuh, totalitas dan tanpa pamrih akan memberikan sebuah kualitas yang jauh berbeda dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan karena mengejar kebutuhan hidup alias sekedar "mencari uang".
Masalah sebenarnya bukanlah pada pernyataan apakah ini hobby atau bukan hobby.
Masalahnya adalah : apakah si penyiar, pengelola radio, termasuk si pemilik radio, dan pemasang iklan menyadari atau mau menyadari bahwa RADIO ADALAH SEBUAH INDUSTRI ?
Kalau hal ini tidak dipahami oleh masing-masing pihak, sampai kapanpun gaji penyiar akan dihargai rendah oleh pengelola atau pemilik radio. Mengapa bisa begitu ? Ya, karena selama menjalankan pekerjaannya si penyiar tidak menunjukkan kualitasnya sebagai seorang penyiar yang layak dibayar tinggi. Buat apa dibayar tinggi, siarannya begitu-begitu saja. Cuma sekedar suka-suka si penyiar. Toh cuma hobby, begitu pendapat si penyiar. Nanti kalau sudah lulus atau ada tawaran pekerjaan di perusahaan lain, yang bukan radio tentunya, ya ucapkan selamat tinggal radio. Ngapain dibela-belain. Penyiar kan hanya batu loncatan.
Yang kedua, kalau pengelola atau pemilik radio tidak menganggap radio sebagai sebuah INDUSTRI yang "BISA MENJADI BESAR' dan "HARUS MENJADI BESAR" tentunya pemasang iklan juga akan bisa merasakan hal yang sama. Ahh, radio itu enggak niat, enggak bonafide. Buktinya, kantornya aja kayak begitu, studionya kecil, dan lain-lain. Sehingga salah satu dampaknya adalah harga iklan sulit untuk menjadi tinggi.Mana mau klient membayar mahal untuk perusahaan yang dianggap enggak bonafide.
Yang ketiga, pemasang iklan yang tidak mau menyadari bahwa radio adalah sebuah industri , tentunya dengan seenaknya sendiri akan menawar harga iklan serendah-rendahnya. Yang penting radio mau kasih harga murah, dia pasti pasang.
Ibaratnya lingkaran setan. Salah satu tidak menyadari fungsinya sebagai sebuah industri, akan berpengaruh pada yang lainnya.
Sebagai layaknya sebuah industri, tidak peduli di kota besar ataupun kecil, berprofesi di radio bisa menjadi sangat menjanjikan dan bisa tidak menjanjikan. Seperti juga bekerja di bank, bisa menjanjikan bisa juga tidak menjanjikan. Tinggal tergantung di Bank mana, Bank yang sehat atau bank yang tidak sehat ?
Jadi, bersyukurlah anda yang berprofesi sebagai penyiar karena "benar-benar hobby" bukan "sok hobby". Maksimalkan kemampuan anda dan kualitas anda akan terbaca oleh atasan anda atau atasan orang lain.
Dan bersyukurlah para pengelola atau pemilik radio yang punya penyiar yang bekerja karena hobby dan kecintaan penuh, karena itulah aset anda yang termahal.
Langganan:
Postingan (Atom)