Melanjutkan tulisan yang kemarin, kedua factor eksternal maupun internal tersebut, harus bisa disikapi secara tepat, utamanya ketika timbul suatu masalah yang nantinya akan dikaitkan dengan karir dan peningkatan kesejahteraan hidup seorang penyiar. Kalau salah dalam menyikapi akan timbul lingkaran setan yang pada akhirnya merugikan image dan profesi penyiar.
Ambil contoh, sebuah radio dengan kondisi pemasukan iklan yang bagus, namun pihak manajemen atau owner kurang memberikan penghargaan yang layak bagi penyiarnya. Apa yang bakal terjadi ? Penyiar akan kehilangan semangatnya, kualitas siarannya menjadi menurun dan berdampak pada kualitas program secara keseluruhan, yang menyebabkan pendengar juga menjadi malas untuk mendengarkan radio itu dan pengiklan juga ogah untuk memasang iklan di radio yang pendengarnya sedikit, apalagi dengan kualitas penyiar dan program yang buruk. Ujung-ujungnya, pihak perusahaan semakin tidak mampu membayar penyiarnya dengan layak, bahkan bayangan PHK semakin di depan mata. Atau kalaupun perusahaan masih bisa berjalan, penyiarnya sudah lebih duluan keluar dari radio itu untuk mencari perusahaan atau radio lain yang lebih baik dalam memberikan salary bagi karyawannya.
Begitu pula sebaliknya, ketika seorang penyiar yang bekerja di sebuah radio yang masih baru (atau lama) yang belum sehat dari sisi keuangannya, semestinya ia harus tetap mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kreativitas dan kualitas siarannya. Diharapkan dengan kreativitas dan kualitas yang meningkat, pendengar akan senang mendengarkan program yang dibawakannya, sehingga jumlah mereka semakin meningkat, yang berikutnya akan berdampak pada bertambahnya pemasang iklan di radio tersebut. Ujung-ujungnya, radio itu akan semakin besar dan kesejahteraan karyawannya akan semakin meningkat.
Dari ke dua contoh tadi bisa disimpulkan kualitas penyiar adalah salah satu hal terpenting – di samping juga kualitas marketing, administrasi dan posisi yang lain di radio bersangkutan - yang menentukan bagus tidaknya prospek perusahaan di masa depan, termasuk prospek penyiar itu sendiri
Kembali ke pertanyaan di awal, kalau begitu, sebenarnya masih bagus tidak sih prospek profesi penyiar ? Jawabannya : BAGUS. Tergantung di stasiun radio mana dan radio seperti apa tempat dia bekerja. Kalau stasiun radionya besar, incomenya bagus, tentunya penghargaan terhadap karyawannya harus lebih bagus dibanding yang lain. Apapun itu perusahaannya. Masa’ sih perusahaan radio dengan income ratusan juta bahkan miliaran per bulan tidak mampu mensejahterakan penyiarnya ?
Kemudian, pertanyaan ke dua, apakah masih perlu pendidikan kepenyiaran itu ? Jawabnya tentu saja , masih perlu dan sangat perlu. Bagaimana seorang calon penyiar maupun penyiar bisa bersaing untuk meraih prestasi bahkan meningkatkan jumlah pendengar di radionya, kalau bekal yang dimilikinya hanya rata-rata atau di bawah rata-rata ? Semua stasiun radio pasti menginginkan mempunyai seorang penyiar yang berkualitas, creative dan punya kemampuan lebih dibanding yang lain. Tidak ada radio dengan income besar yang mempekerjakan penyiar yang tidak berkualitas. Nah, supaya penyiarnya yang berkualitas bisa tetap bertahan, tentunya dia harus berani membayar mahal untuk itu. Jadi, dalam hal ini, pendidikan kepenyiaran memang sangat diperlukan sekali bagi mereka yang ingin atau sudah terjun di dunia broadcat.
Berikutnya, timbul pertanyaan ke 3. Apakah ada jaminan setelah mengikuti kursus atau kependidikan kepenyiaraan seseorang lantas bisa otomatis diterima menjadi penyiar atau bisa berprestasi lebih dibanding penyiar yang lain ?
Jawabannya : Tidak ada jaminan. Semuanya kembali ke individu masing-masing.
Seperti juga halnya ribuan mahasiswa yang mengambil kuliah di perguruan tinggi, apakah ada jaminan setelah mereka lulus semuanya akan bisa diterima kerja sesuai jurusannya ? Tentu juga tidak ada. Yang penting adalah mereka telah diberi bekal yang cukup, baik secara teori maupun praktek, sehingga peluang mereka untuk sukses jauh lebih besar dibanding mereka yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai.
Begitu juga di pendidikan kepenyiaran. Peserta akan dibekali pengetahuan mengenai ilmu komunikasi, utamanya di dunia kepenyiaran, baik secara teori maupun praktek, yang akan membuat mereka jauh lebih siap untuk memasuki dunia kerja, tidak hanya di radio tetapi juga di tempat lain.
Kok bisa di tempat lain ? Ya, karena dengan bekal kemampuan mereka di bidang komunikasi tentunya akan sangat menunjang sekali dalam menempuh perjalanan studi maupun karir mereka. Yang pasti keberanian untuk berbicara akan meningkat, begitu pula rasa percaya diri, wawasan, dan lain sebagainya. Bahkan tidak sedikit yang bisa berkarir sebagai presenter di televisi. Hal ini bisa terjadi karena mereka telah memiliki bekal yang cukup di dunia kepenyiaran radio, yang bisa dibilang sebagai basic dari segala ilmu kepenyiaran / broadcasting.
Jadi kesimpulannya, pendidikan kepenyiaran memang perlu dan penting, khususnya bagi mereka yang berminat untuk terjun sebagai penyiar ataupun yang sudah berprofesi sebagai penyiar. Tentunya kita harus jeli dan bijak dalam memilih lembaga pendidikan. Jangan sembarangan dalam memilih. Perlu diperhatikan misalnya dari aspek legalitas lembaga pendidikannya, kemudian kelengkapan fasilitas prakteknya, dan yang terpenting tenaga pengajarnya. Akan lebih baik apabila tenaga pengajarnya adalah praktisi yang sudah berpengalaman, baik secara teori maupun prakatek, bukan mereka yang baru 2-5 tahun menjadi penyiar.
Justru sekarang yang jadi masalah adalah apakah yang mereka yang berada di level atas manajemen sebuah perusahaan jasa penyiaran, entah itu sekedar pengelola atau bahkan owner, mau untuk memahami dan belajar secara mendalam tentang dunia kepenyiaran ? Ataukah mereka menganggap bisnis radio sama halnya seperti menjalankan bisnis yang lain, sehingga tidak perlu lagi untuk belajar dan memahami dunia kepenyiaran ?