Ada fenomena menarik yang terjadi belakangan ini di kota Malang.
Beberapa bulan terakhir bermunculan radio bernuansa religi di gelombang FM. Terlepas apakah radio-radio itu sudah berijin atau tidak, kemunculan mereka bagi pendengar nampaknya menjadi solusi atas minimnya program bernuansa religi di radio-radio yang sudah ada.
Seperti kita tau, mayoritas radio di kota Malang menjadi “beragama” hanya di jam-jam, hari-hari dan bulan-bulan tertentu saja. Misalnya pas Ramadhan dan Lebaran. Selebihnya mereka sekedar menyajikan program hiburan yang tidak bisa menjadi solusi bagi kekeringan jiwa dan carut marutnya persoalan moral di bangsa yang katanya ber-keTuhanan Yang Maha Esa ini.
Lihat saja, di kota yang katanya berpenduduk mayoritas beragam Islam ini, acara bernuansa religi Islami di radio hanya diberi jatah 5 menit saja perhari.
Acara apa itu ?
Ya apalagi kalau bukan adzan Maghrib.
Bahkan sebuah radio yang berlokasi di sebuah Masjid besar di tengah kota Malang hanya bersiaran saat Subuh dan Maghrib saja (live kuliah Subuh dan ceramah sehabis Maghrib), serta siaran live adzan shalat Subuh, Dluhur Ashar, Maghrib dan Isya.
Memang ada juga sih radio yang menyajikan lebih dari itu, tapi biasanya cuma seminggu sekali, pas hari Kamis atau Jumat aja. Barangkali hanya ada satu atau dua radio yang menyajikan acara bernuansa Islami berdurasi lebih dari 1 jam perhari. Itupun enggak bakal lebih dari 2 jam perhari.
Bagaimana dengan program religi selain Islam ?
Wah, ini lebih sedikit lagi. Bisa-bisa cuma seminggu sekali alias sebulan 4 kali. Hanya di hari-hari tertentu saja program religi mereka bisa muncul dengan jatah waktu yang sedikit lebih banyak, itupun di hari besar yang benar-benar sudah dikenal. Selebihnya, enggak beda sama yang lain.
Program bernuansa religi benar-benar dianggap tidak punya nilai jual bagi radio sehingga enggak perlu dibuat kecuali di waktu-waktu tertentu. Padahal program ini sebenarnya bisa jadi solusi alternative bagi permasalahan yang dihadapi oleh pendengar di masa sekarang. Tentu saja dengan catatan si awak radio bisa mengemasnya dengan kreatif dan menarik, serta tentu saja peran Marketing.
Nah, barangkali itulah yang menyebabkan akhirnya bermunculan radio-radio yang mengusung nilai religi sebagai menu utamanya. Dan menariknya, justru dimulai oleh radio yang berlatar belakang non-Islam yang notabene pendengarnya relative lebih sedikit dan terbatas.
Radio-radio ini dengan semangat tinggi berani mendobrak paradigma yang menganggap bahwa program religi enggak laku untuk dijual alias enggak bakalan ada pendengarnya. Padahal kita tau jumlah yang sedikit ini masih harus dibagi lagi diantara mereka.
Gimana komentar anda ?